Rektor Universitas Negeri Yogyakarta (UNY) Rochmat Wahab menyayangkan, kebijakan guru dan sekolah yang masih memberlakukan budaya tidak naik kelas pada anak kelas 1-3. Berdasarkan data Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan 2015/2016, terdapat 422.082 orang siswa SD yang tidak naik kelas.
Rochmat menegaskan, budaya tidak naik kelas yang masih diterapkan menunjukkan ketidakonsistenan pendidikan Indonesia. Pada saat bersamaan, pemerintah menghapus Ujian Nasional (UN). Namun di sisi lain, pemerintah tetap menerapkan sistem tidak naik kelas.
“Jika benar ada banyak sekolah yang masih memberlakukan sistem tinggal kelas, tentu tidak konsisten dengan arah pendidikan kita. Di satu sisi, pemerintah menghapus UN agar tidak membebani siswa, tapi di sisi lain siswa tetap dibebani dengan sanksi tidak naik kelas,” kata Rochmat kepada SP, Selasa (11/10).
Selanjutnya, Rochmat berharap dengan terkuaknya kasus ini, pemerintah akan menetapkan standar khusus untuk pendidikan sekolah dasar (SD) khusus kelas 1-3. Menurut dia, sistem pendidikan untuk anak usia di bawah sembilan tahun harus menggunakan pendekatan yang tidak terlalu formal. Artinya, jangan tidak dipaksakan dengan materi yang berat.
Rochmat berharap anak dididik secara alamiah. Misalkan untuk anak kelas dua dan tiga, pada pelajaran bahasa Indonesia, guru tidak boleh mendidik anak untuk segera mampu membedakan predikat dan subjek. Anak harus dididik senatural mungkin sehingga tidak menjadi sebuah beban.
Rochmat menegaskan, budaya tidak naik kelas yang masih diterapkan menunjukkan ketidakonsistenan pendidikan Indonesia. Pada saat bersamaan, pemerintah menghapus Ujian Nasional (UN). Namun di sisi lain, pemerintah tetap menerapkan sistem tidak naik kelas.
Baca Juga : Heboh 7 Siswa SD Sudah Kecanduan Hisap Lem KambingHal ini menunjukkan, pendidikan untuk anak kelas 1-3 tidak memiliki standar yang jelas. Padahal, anak usia 0-9 tahun tidak dapat dipaksa untuk belajar dengan keras. Dalam artian, dipaksa belajar pengetahuan sesuai kurikulum. Anak dengan usia yang masih muda harus diberi kebebasan. Sehingga, kurikulumnya harus alamiah.
“Jika benar ada banyak sekolah yang masih memberlakukan sistem tinggal kelas, tentu tidak konsisten dengan arah pendidikan kita. Di satu sisi, pemerintah menghapus UN agar tidak membebani siswa, tapi di sisi lain siswa tetap dibebani dengan sanksi tidak naik kelas,” kata Rochmat kepada SP, Selasa (11/10).
Selanjutnya, Rochmat berharap dengan terkuaknya kasus ini, pemerintah akan menetapkan standar khusus untuk pendidikan sekolah dasar (SD) khusus kelas 1-3. Menurut dia, sistem pendidikan untuk anak usia di bawah sembilan tahun harus menggunakan pendekatan yang tidak terlalu formal. Artinya, jangan tidak dipaksakan dengan materi yang berat.
Rochmat berharap anak dididik secara alamiah. Misalkan untuk anak kelas dua dan tiga, pada pelajaran bahasa Indonesia, guru tidak boleh mendidik anak untuk segera mampu membedakan predikat dan subjek. Anak harus dididik senatural mungkin sehingga tidak menjadi sebuah beban.
Masih banyaknya anak yang tidak naik kelas, menurut Rochmat, adalah murni karena kesalahan guru.
Sebab guru tidak dapat mengenali murid-muridnya dengan baik. Guru mengajar tidak sesuai dengan kondisi anak, sehingga terjadi pemaksaan sistem pendidikan pada anak. Untuk itu, ia mengharapkan, pemerintah harus lebih memperhatikan guru yang mengajar untuk kelas awal, Pasalnya, jika terjadi penyimpangan, tentu akan merusak sistem pendidikan nasional secara keseluruhan. Sumber : http://www.beritasatu.com/kesra/391869-ratusan-siswa-sd-tingga-kelas-sistem-pendidikan-indonesia-tidak-konsisten.html![]() |
Ilustrasi Siswa SD Ujian |